Oleh Hayat Mansur
Setelah 10 tahun lebih menimbulkan kontroversi, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan undang-undang (UU) Pornografi. Namun pengesahan UU tersebut tidak akan pernah mengakhiri kontroversi, justru akan terus berlanjut dan lebih tajam lagi.
Lolosnya RUU Pornografi menjadi UU sebenarnya di luar dugaan masyarakat karena banyak masyarakat yang tidak suka. Lihat saja sampai sebulan, seminggu, bahkan pada saat sebelum DPR mengesahkan UU Pornografi demo, penolakan tetap marak terjadi di sejumlah daerah seperti di Yogyakarta dan Bali. Namun harus diakui pemberitaan tersebut memang sedikit tertutupi oleh laporan beramai-ramainya anggota DPR mengunjungi KPK. Mereka bukan melakukan rapat kerja atau studi banding, tapi diperiksa terkait kasus korupsi.
Tak hanya di masyarakat, di dalam gedung DPR juga masih terjadi pro kontra. Bukan hanya pada sejumlah pasal tapi paradigma dan logika penyusunannya juga dipersoalkan. Namun suasana di Senayan berubah drastis saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum Golkar dilaporkan mengizinkan RUU Pornografi disahkan.
Dalam hal ini, pertimbangan SBY dan JK adalah untuk menarik dukungan partai Islam pada Pemilu 2009. Jika dalam Pemilu nanti duet SBY-JK melawan Megawati (PDIP) maka pembedanya hanya satu yaitu dukungan partai Islam. Jadi dalam hal ini lebih kepada politis demi Pilpres 2009 bukan demi prinsip hukum karena bila dilihat dari segi UU-nya juga banyak kelemahan.
Dari penilaian kami, kelemahan tersebut diantaranya adalah:
(Silakan pembaca tambahkan lagi jika mempunyai penilaian terhadap UU Pornografi)
- Paradigma dan logika yang keliru dalam penyusunan UU Pornografi, yaitu adanya campur tangan sektor publik ke dalam sektor privat. Negara kita adalah negara hukum maka harus memakai prinsip-prinsip hukum di dalam menyusun hukum. Jadi jangan masalah nilai-nilai subyektif dipakai dalam menyusun UU yang malah akhirnya bertabrakan dengan nilai-nilai orang lain.
- Penyusunan UU Pornografi juga melanggar UU No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU tersebut menjadikan dan menjamin Bhineka Tunggal Ika sebagai prinsip setiap pembentukan perundang-undangan. Apalagi UU ini mencoba mengatur masalah pornografi untuk seluruh masyarakat Indonesia yang pada faktanya mememeluk ragam agama. Padahal masalah pornografi dalam beberapa bagian atau seluruhnya, seperti menyangkut masalah pakaian, sangat terkait dengan keyakinan seseorang. Misalnya, pakaian seorang Muslim tentu berbeda dengan pakaian seorang Hindu. Dengan demikian aspek pornografitasnya pun juga mestinya berbeda.
- UU Pornografi merupakan kriminalisasi dan penghinaan terhadap perempuan. Penghinaaan terhadap wanita seakan-akan perempuan itu perayu. Perempuan dijadikan sebagai obyek bukan subyek. Seharusnya upaya perlindungan perempuan tidak hanya diukur untuk kegiatan pronografi, karena ukuran pornigrafi yang ditafsirkan sebagai kegiatan yang menyebabkan timbulnya hasrat seksual tidak dapat disamakan, tapi beragam tergantung pengaruh budaya dan konstruksi lingkungan sosial di tiap-tiap daerah.
- UU Pornografi memberikan amunisi untuk masyarakat bersifat anarki karena dalam pasal 20 disebutkan 'Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Adanya sejumlah kelemahan tersebut, UU Pornografi kendati sudah disahkan masih tetap ada upaya untuk menolaknya. Biasanya suatu UU guna dapat diterapkan maka harus ada aturan pelaksananya seperti peraturan pemerintah (PP). Dalam hal ini masyarakat bisa berjuang menolak PP pornografi, bahkan memperjuangkan adanya revisi/amandemen. Ingat, UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan sulit berlaku efektif karena Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Jaminan Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja, atau dikenal dengan RPP Pesangon terus ditolak serikat buruh. Jadi jangan patah semangat.
Oleh Hayat Mansur
Setelah 10 tahun lebih menimbulkan kontroversi, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan undang-undang (UU) Pornografi. Namun pengesahan UU tersebut tidak akan pernah mengakhiri kontroversi, justru akan terus berlanjut dan lebih tajam lagi.
Lolosnya RUU Pornografi menjadi UU sebenarnya di luar dugaan masyarakat karena banyak masyarakat yang tidak suka. Lihat saja sampai sebulan, seminggu, bahkan pada saat sebelum DPR mengesahkan UU Pornografi demo, penolakan tetap marak terjadi di sejumlah daerah seperti di Yogyakarta dan Bali. Namun harus diakui pemberitaan tersebut memang sedikit tertutupi oleh laporan beramai-ramainya anggota DPR mengunjungi KPK. Mereka bukan melakukan rapat kerja atau studi banding, tapi diperiksa terkait kasus korupsi.
Tak hanya di masyarakat, di dalam gedung DPR juga masih terjadi pro kontra. Bukan hanya pada sejumlah pasal tapi paradigma dan logika penyusunannya juga dipersoalkan. Namun suasana di Senayan berubah drastis saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum Golkar dilaporkan mengizinkan RUU Pornografi disahkan.
Dalam hal ini, pertimbangan SBY dan JK adalah untuk menarik dukungan partai Islam pada Pemilu 2009. Jika dalam Pemilu nanti duet SBY-JK melawan Megawati (PDIP) maka pembedanya hanya satu yaitu dukungan partai Islam. Jadi dalam hal ini lebih kepada politis demi Pilpres 2009 bukan demi prinsip hukum karena bila dilihat dari segi UU-nya juga banyak kelemahan.
Dari penilaian kami, kelemahan tersebut diantaranya adalah:
(Silakan pembaca tambahkan lagi jika mempunyai penilaian terhadap UU Pornografi)
- Paradigma dan logika yang keliru dalam penyusunan UU Pornografi, yaitu adanya campur tangan sektor publik ke dalam sektor privat. Negara kita adalah negara hukum maka harus memakai prinsip-prinsip hukum di dalam menyusun hukum. Jadi jangan masalah nilai-nilai subyektif dipakai dalam menyusun UU yang malah akhirnya bertabrakan dengan nilai-nilai orang lain.
- Penyusunan UU Pornografi juga melanggar UU No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU tersebut menjadikan dan menjamin Bhineka Tunggal Ika sebagai prinsip setiap pembentukan perundang-undangan. Apalagi UU ini mencoba mengatur masalah pornografi untuk seluruh masyarakat Indonesia yang pada faktanya mememeluk ragam agama. Padahal masalah pornografi dalam beberapa bagian atau seluruhnya, seperti menyangkut masalah pakaian, sangat terkait dengan keyakinan seseorang. Misalnya, pakaian seorang Muslim tentu berbeda dengan pakaian seorang Hindu. Dengan demikian aspek pornografitasnya pun juga mestinya berbeda.
- UU Pornografi merupakan kriminalisasi dan penghinaan terhadap perempuan. Penghinaaan terhadap wanita seakan-akan perempuan itu perayu. Perempuan dijadikan sebagai obyek bukan subyek. Seharusnya upaya perlindungan perempuan tidak hanya diukur untuk kegiatan pronografi, karena ukuran pornigrafi yang ditafsirkan sebagai kegiatan yang menyebabkan timbulnya hasrat seksual tidak dapat disamakan, tapi beragam tergantung pengaruh budaya dan konstruksi lingkungan sosial di tiap-tiap daerah.
- UU Pornografi memberikan amunisi untuk masyarakat bersifat anarki karena dalam pasal 20 disebutkan 'Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Adanya sejumlah kelemahan tersebut, UU Pornografi kendati sudah disahkan masih tetap ada upaya untuk menolaknya. Biasanya suatu UU guna dapat diterapkan maka harus ada aturan pelaksananya seperti peraturan pemerintah (PP). Dalam hal ini masyarakat bisa berjuang menolak PP pornografi, bahkan memperjuangkan adanya revisi/amandemen. Ingat, UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan sulit berlaku efektif karena Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Jaminan Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja, atau dikenal dengan RPP Pesangon terus ditolak serikat buruh. Jadi jangan patah semangat.
SUMBER : http://perspektif.net/article/article.php?article_id=978
Tidak ada komentar:
Posting Komentar